18 October 2005

mengingat mati

disaat ajal kan datang menjelang
Malaikat Izrail mainkan peran
nyawa tercabut tubuh pun meregang
Allahuakbar janjimu tlah datang
(SNADA)

Ada yang terus mengintaiku, mengikuti gerak
langkahku setiap saat, menungguku untuk sebuah
pertemuan yang dinanti. Dia selalu mengawasiku
setiap waktu. Jika aku berada di depan, maka dia
pasti ada di belakangku. Jika aku berada di
samping kanan, maka dia berada di samping kiriku.
Jika aku di atas, dia pasti ada di bawah. Siapakah
gerangan?

Dialah "Kematian", "kematian" banyak hal yang
melintasi pikiranku saat aku menyebutnya. Semua
pasti akan mati, semua pasti akan mengalami
sekarat, dan semua yang hidup pasti akan bertemu
dengannya tak dapat kusanggah. Saat menjelang
kematian dalam kehidupan manusia terdahulu
adalah saat yang pasti aku lalui juga.

Demi Allah, dia pasti akan datang kepadaku. Demi
Allah dia pasti akan menegukku. Sama seperti raja-
raja di istana megah itu, seperti pemimpin
pemimpin bangsa di masa lalu. Seperti orang-
orang kaya yang setiap harinya kelihatan "bahagia"
(jika mereka mati, masihkah "bahagia"?), atau
mereka yang fakir yang setiap harinya bergumul
dalam penderitaan, atau orang-orang miskin yang
terus meratapi segala kekurangannya, atau para
hamba sahaya yang tiada sekejap pun orang
memandangnya. Mereka semua telah merasakan
kematian. Mereka semua telah bertemu dengan
kematian.

Bila mati, bila manusia mati, maka sudah tak ada
lagi yang bisa dibangga-banggakan. Seorang yang
cerdik sekalipun, kecerdikannya tak akan bisa
melarikan dirinya dari peristiwa kematian. Bila
mati, maka semua strategi para ilmuwan dan tokoh
jenius itu pasti akan patah. Bila mati, semua
kekuatan orang-orang yang berkuasa itu akan
binasa. Bila mati, bangunan yang tinggi menjulang,
istana-istana megah dunia, atau gedung pencakar
langit yang kokoh akan runtuh seketika. Kematian
juga yang telah meruntuhkan bangunan orang-
orang kaya itu.

Suatu kali aku bertanya pada diriku sendiri, bila
mati, bagaimana bila aku mati ? Ah Selama ini
aku memang tidak tahu kapan dia akan datang
bertamu, karena dia tidak pernah membuat janji
sebelumnya denganku. Namun, bagaimana kalau
dia tanpa diduga tiba-tiba datang kepadaku?
Menegukku, membuatku sekarat? Bagaimana?

Bila mati, bila aku mati, itu berarti aku harus rela
ditinggal sendiri. Ibu, bapak, saudara-saudaraku,
mereka semua pergi. Sahabat-sahabat dekat yang
selama ini menjadi tempat curahan hati, tetangga-
tetangga yang suka mengantarkan makanannya
kepadaku, mereka hanya berlalu dan pergi
meninggalkanku. Apalagi hasil jerih payahku
mengais rezeki hari demi hari sekeping pun tak
dapat menolongku lagi. Apa yang terjadi? Saat itu
aku pasti akan sendirian, dalam gelap gulita
diselimuti sepi, mencekam, mati.

Bila mati, yang ada dalam gambaranku adalah
suatu peristiwa yang amat penting bagi yang hidup.
Aku tidak tahu bagaimana rasanya bila nanti seolah-
olah ada sebuah gunung yang kokoh lagi menjulang
tinggi berada di atas dadaku, menahanku,
menghilangkan kesempatanku untuk menghirup
udara dunia, mungkin jika bisa, itu pun seakan-
akan aku bernafas di sebuah lubang jarum.
Bernafas di sebuah lubang jarum? Pergulatan
macam apa itu? Atau seumpama aku sedang
dipukuli dengan sebuah dahan pohon yang penuh
duri lagi tajam, kemudian duri-duri itu menancap di
semua urat-uratku. Lantas, lantas dahan tersebut
ditarik, sehingga setiap urat dalam tubuhku juga
ikut tertarik, menyisakan kepedihan dan sakit yang
luar biasa. Demi Allah, apakah nanti lebih perih dari
yang sekedar aku bayangkan?

Bila mati, bila aku mati, maka akan ada sesuatu
yang menampakkan wajahnya padaku. Dialah
Izrail, Sang Malaikat Maut yang akan turun dari
penjuru langit untuk menjemputku. Namun, apakah
nanti dia akan menampakkan rupanya dengan
wajah penuh keramahan dan kehangatan ataukah
sebaliknya? Bisa jadi nanti dia datang dengan
wajah garang tanpa belas kasihan. Bagaimana
nanti? Ketika dadaku menyempit, nafasku tersengal-
sengal, sampai ke tenggorokan, tubuhku kaku sulit
digerakkan. Saat itulah dia menunaikan tugasnya,
memisahkan ruh dan jasadku. Menuntaskan
episode akhir dari sebuah perjalanan hidupku di
dunia ini. Itu pasti akan terjadi, nanti, bila aku mati.

Kemudian, bila mati, bila aku mati, orang-orang
akan membaringkanku, memandikanku,
menshalatiku, mengkafani tubuhku yang kaku,
menggotongku dan menimbunkanku di dalam
sebuah ruang sempit, gelap, senyap dan sunyi.
Detik-detik saat aku dibaringkan dalam liang kubur
itulah yang akan menjadi awal babak baruku
menuju fase berikutnya setelah kematian, yakni
mengarungi alam kubur. Tak ada pagi, siang
ataupun malam hari, karena semuanya sama jika
sudah masuk ke dalam, terpendam berkalang
tanah. Oh... Adakah tempat yang lebih jauh dari
tempat itu? Adakah? Adakah tempat yang lebih
sunyi? Adakah? Gelapkah, pasti tidak ada kegelapan
yang lebih gelap dari tempat itu. Semua kelezatan
yang pernah aku rasakan ketika aku hidup,
mungkinkah akan berganti menjadi rasa pahit yang
luar biasa?

Siapa yang akan peduli jika aku tercekam
ketakutan? Siapa? Gelap Gelap Adakah cahaya?
Adakah? Siapa yang akan memberikan aku cahaya
untuk menerangi kegelapanku di sana? Siapa?
Tiadakah aku punya sesuatu yang berarti? Apakah
amalku, amalku yang sedikit tersisa nanti akan
mampu menolongku, menemani dalam
kesendirianku disana?

Bila mati, bila aku mati, oh aku ini memang bukan
seorang 'alim yang pasti airmatanya meleleh jika
membayangkan malam pertama di dalam kubur,
bukan pula seorang ahli hikmah yang mengeluhkan
pedihnya dijerat kematian, atau seorang penyair
yang menerjemahkan tangisannya dalam bait-bait
kematian penggugah keharuan. Aku hanya manusia
biasa, terlalu biasa untuk mengingat kematian. Aku
masih tenggelam dalam carut marut dunia yang
aslinya fana ini. Terlalu sedikit waktuku untuk
mengingatnya, apakah memang waktunya yang
sedikit ataukah dunia ini yang membuatku sedikit
untuk mengingatnya?

Mati, bila mati, bila aku mati, saat ini aku memang
belum mati. Tapi seharusnya aku tidak boleh takut
mati. Karena, setiap yang berjiwa pasti akan
merasakan mati. Semestinya aku harus
mengingatnya setiap hari, berbenah diri,
memelihara waktuku, usia kehidupanku sekarang
dan melakukan persiapan yang baik untuk
kedatangannya. Ah Dia memang tidak pernah
membuat janji padaku sebelumnya. Namun,
mungkin saja dia akan datang pada saat-saat
dimana aku tidak menduga sama sekali.

Dia masih memperhatikanku
Terus mengintaiku
Mengawasi gerak-gerikku
Menungguku
Untuk sebuah waktu yang telah ditentukan

"Ya Allah, Yang Maha Mematikan, perbaikilah
agamaku yang merupakan penjaga urusanku,
perbaikilah duniaku yang merupakan tempat
hidupku, perbaikilah akhiratku yang merupakan
tempat kembaliku. Dan jadikanlah kehidupanku
sebagai penambah kebaikan bagiku, serta
jadikan "KEMATIANKU" sebagai istirahatku dari
segala keburukan.

"Allaahumma a'inni 'ala sakaraatil mauut
Allaahumma hawwin 'alayya sakaraatil mauut
Laa ilaaha illallaah inna lilmauti la sakaraati"

"Ya Allah, bantulah aku dalam menghadapi
sakaratul maut.
Ya Allah, mudahkanlah sakaratul maut padaku.
Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan
Allah.
Sesungguhnya kematian itu memiliki saat-saat
sekarat."
(diambil dari bulettin board wiwit : my best friend)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home